"Kita dalam membuat target untuk palm oil ini punya 16,8 juta hektar. Jadi kalau bisa bikin yield (imbal hasil) per hektar mampu jadi 10 ton, dan kemudian katakanlah average bisa jadi 100 juta ton produksinya," papar Luhut.
"Nah pada tahun 2035 atau 2040 kita akan buat 40 persen untuk makanan dan 60 persen jadi energi," pungkasnya.
Baca Juga:
Pacu Kreativitas Mahasiswa Indonesia, PLN Gelar Kompetisi Membangun Gokart Listrik
Memang, pemerintah untuk mendorong pembangunan industri baterai kendaraan listrik memang baru mencuat ke permukaan setahun terakhir. Bentuk paling riilnya berupa pendirian Indonesia Battery Corporation (IBC) atau PT Industri Baterai Indonesia pada Maret 2021.
Empat Badan Usaha Milik Negara; PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), MIND ID (Persero), PT Pertamina (Persero) dan PLN (Persero) menjadi pemegang saham IBC dengan porsi kepemilikan masing-masing 25 persen.
Beban berat tersemat di pundak IBC; membangun dan mengembangkan industri baterai yang terintegrasi. Mulai dari penambangan bijih nikel hingga daur ulang baterai bekas.
Baca Juga:
Pacu Kreativitas Mahasiswa Indonesia, PLN Gelar Kompetisi Membangun Gokart Listrik
Teknologi dan biaya investasi yang besar menjadi kendala buat Indonesia. Tapi, negeri ini punya modal utama lainnya; ketersediaan bahan baku berupa bijih nikel yang melimpah. Merujuk data United States Geological Survei (USGS), cadangan nikel Indonesia mencapai 52 persen dari total cadangan nikel dunia.
Di sinilah posisi Antam menjadi strategis lantaran perusahaan pelat merah itu merupakan pemilik cadangan nikel terbesar kedua di Indonesia.
Dolok Robert Silaban, Direktur Pengembangan Usaha Antam kepada KONTAN (26/7) menyebut, pada tahun 2021 tercatat cadangan bijih nikel ANTAM sebesar 381,91 juta wet metric ton (wmt), tumbuh 2 persen dibanding cadangan pada 2020 yang sebesar 375,52 juta wmt. Total cadangan 381,91 juta wmt itu terdiri dari 332,69 juta wmt bijih nikel saprolite dan 49,22 juta wmt bijih nikel limonite.