Terkait harga PCR, menurut Septian, tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dan situasi pada awal-awal pandemi, bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini, ucapnya, kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah. Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Luhut dalam memutuskan.
"Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan," kata Septian.
Baca Juga:
Lima Pimpinan Baru KPK Ditetapkan, Setyo Budiyanto Jadi Ketua
Pengetatan PPKM
Septian tak mau mengungkapkan donasi atau bantuan yang diberikan Luhut dalam penanganan pandemi. Dia selalu ingat pesan Luhut, kalau melakukan kebaikan dan bantuan tidak perlu diingat-ingat supaya tidak merasa memiliki budi kepada orang lain, tetapi kalau kita melakukan hal yang buruk, harus diingat supaya tidak mengulangi.
Baca Juga:
Penjualan Anjlok, Pizza Hut Indonesia Tutup 20 Gerai dan Pangkas 371 Karyawan
"Namun, dalam kasus GSI ini, saya merasa framingnya dan tuduhannya terlalu gila sehingga saya perlu menuliskan cerita dari sisi kami atas apa yang terjadi," paparnya.
Septian menilai dampak Varian Delta pada Juli merupakan pengalaman yang menyakitkan untuk bangsa ini. Oleh karenanya, saat melihat risiko peningkatan kasus, dia ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya.
"Karena kalau ada peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar. Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap satu minggu dilakukan PPKM Darurat sekitar Rp5,2 triliun, itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," terangnya.