WahanaNews-Malut | Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan, petani sawit meminta pemerintah untuk melindungi tata kelola pupuk non subsidi.
Itu karena harga pupuk, baik tunggal maupun majemuk, sudah melonjak antara 70-120 persen dalam delapan bulan terakhir.
Baca Juga:
Eks Menlu RI Retno Marsudi Diangkat jadi Dewan Direksi Perusahaan Energi Singapura
Kenaikan paling jelas, katanya, bisa dilihat dari pupuk urea.
Tadinya, pupuk jenis itu dipatok seharga Rp4.500 per kg.
Namun, sekarang, harga pupuk sudah mencapai di atas Rp 6.000 per kg.
Baca Juga:
Buka Kejuaraan Nasional Renang Antar Klub Se-Indonesia, Wamenpora Harap Dapat Lahirkan Atlet Berprestasi
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengatakan, perlindungan diperlukan karena kenaikan harga pupuk berdampak pada pendapatan petani.
Pasalnya, kontribusi biaya pupuk untuk produksi petani mencapai 58 persen.
"Pendapatan petani sekarang hanya Rp815.000 per hektar per bulan, (turun) dari sebelumnya Rp 1,1 juta. Harga sawit Rp 3.000 per kg, tapi kami turun pendapatan," ujarnya, dikutip Senin (1/11/2021).
Selain segera memberikan perlindungan, pihaknya juga meminta pemerintah segera mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk.
Pihaknya juga meminta BUMN pupuk tidak ikut-ikutan menaikkan harga.
"Kami berharap Komisi IV DPR RI bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya," ujar dia.
Sementara itu, Direktur Pupuk dan Pestisida Ditjen PSP Kementerian Pertanian, Muhammad Hatta, mengatakan, ada lima potensi masalah yang menjadi persoalan harga pupuk bersubsidi, yaitu perembesan antar wilayah, isu kelangkaan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani, alokasi menjadi tidak tepat sasaran, dan produktivitas tanaman menurun.
"Memang masalah tadi akan berdampak lebih lanjut bagi turunnya produktivitas tanaman. Disebabkan petani tidak menggunakan tepat waktu dan jumlahnya," katanya.
Terkait tata kelola pupuk bersubsidi, tambahnya, Kementerian Pertanian melibatkan multi pihak dalam pengaturan tata kelola pupuk bersubsidi.
Artinya, pihaknya tidak bekerja sendiri dalam mengurus pupuk bersubsidi.
Kementan terlibat di tingkat perencanaan.
Sementara itu, penyaluran dilakukan oleh PIHC (Pupuk Indonesia Holding Company), verifikasi dan monitoring dibantu pemerintah daerah.
Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian RI, Gunawan, mengatakan, pemerintah berkomitmen menjaga ketersediaan dan keterjangkauan harga pupuk baik subsidi maupun non subsidi untuk meningkatkan produktivitas lahan petani.
Itu dilakukan karena pupuk merupakan salah satu sarana produksi yang sangat strategis bagi pertanian.
Selain mempengaruhi capaian produksi, tambahnya, pupuk juga memiliki dampak sosial sangat luas karena menjangkau sekitar 17 juta petani, pada 6063 Kecamatan, 489 Kabupaten dan 34 Provinsi.
"Upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud salah satunya dukungan dari kegiatan pemupukan.Proses pemupukan yang tepat sasaran berkontribusi tinggi dalam pencapaian produksi pertanian seperti padi," ujarnya melalui keterangan tertulis.
Namun, tambahnya, upaya itu memang mengalami ganjalan.
Salah satunya, datang dari ketersediaan anggaran.
Berdasarkan data kementeriannya, dalam lima tahun terakhir kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57 - 26,18 juta ton.
Total anggaran yang dibutuhkan Rp63 triliun - Rp 65 triliun.
Tetapi, lanjutnya, anggaran yang bisa disediakan hanya Rp 25 triliun sampai Rp32 triliun.
Keterbatasan anggaran itu menyebabkan pemerintah hanya dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 8,87 juta- 9,55 juta ton. [non]