Malut.WahanaNews.co - PT PLN (Persero) menyebut, jaringan listrik atau grid dengan panjang kurang lebih 23,648 kilometer mesti terbangun untuk mendukung investasi baru pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) sebesar 62 gigawatt (GW) sampai 2040 mendatang.
Hitung-hitungan itu berasal dari studi yang dibuat PLN lewat skenario accelerated renewable energy with coal phase down atau ACCEL sepanjang ruas Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara untuk evakuasi ke Jawa, sebagai pusat permintaan listrik.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Kebutuhan investasi grid itu diperkirakan mencapai US$31 miliar setara dengan Rp480,8 triliun (asumsi kurs Rp15.510 per dolar AS). Adapun, PLN berencana menambah porsi EBT 62 GW dalam revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang baru.
“Itu syaratnya ya untuk bisa mencapai 62 GW (pembangkit EBT), pembangunan grid-nya itu harus jadi syarat utama,” kata EVP of Energy Transition and Sustainability PLN, Kamia Handayani, dikutip Rabu (27/9/2023).
Adapun rencananya, target ambius penyediaan sumber setrum bersih itu dominan berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan porsi mencapai 34 GW.
Baca Juga:
Gendeng Indomobil, PLN Icon Plus Siap Kolaborasi Wujudkan Pengembangan Ekosistem Kendaraan Listrik
Sisanya, sekitar 28 GW bakal dipenuhi lewat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).
Kamia mengatakan, pembangunan jaringan untuk evakuasi listrik pembangkit EBT itu mesti mendapatkan pinjaman atau pembiayaan murah. Dia beralasan pembangunan grid tidak memiliki tingkat pengembalian investasi yang menarik.
“Membutuhkan pendanaan yang sangat murah karena kan transmisi itu bangunnya lama secara komersial kurang menarik jadi butuh pendanaan yang sangat murah untuk bisa berhasil dan dukungan perizinan agar cepat,” kata dia.
Sementara, melansir rencana kerja PLN, jaringan listrik Sumatra-Jawa direncanakan dapat beroperasi pada 2029 mendatang, dengan investasi sekitar US$6,5 miliar.
Selanjutnya, jaringan listrik Kalimantan-Jawa ditargetkan dapat beroperasi pada 2036, dengan kebutuhan investasi sebesar US$11,3 miliar.
Sementara itu, jaringan listrik Sulawesi ditargetkan beroperasi pada 2026, dengan nilai investasi US$2,4 miliar. Di sisi lain, jaringan listrik yang menghubungkan Sumba, Bali ke Jawa diharapkan rampung sebelum 2040.
Evakuasi listrik yang menghubungkan Jawa dari Suma itu pun diperkirakan bakal menelan investasi baru sekitar US$4,2 miliar.
“Iya itu [proposal grid] masuk dalam bagian Just Energy Transition Partnership [JETP] juga,” kata dia.
Kendati demikian, Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto mengatakan, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya hanya tertarik untuk mendanai proyek-proyek energi terbarukan komersial, yang menurut Seto tidak diperlukan.
"Kami punya kelebihan listrik. Jadi kalau kami terus menambahkan energi terbarukan, itu akan berdampak pada anggaran kami,” kata Seto.
Dia menambahkan bahwa, Indonesia juga bisa membiayai sendiri proyek-proyek energi terbarukan jika diperlukan.
"Tuntutan kami sangat jelas, yaitu penghentian dini pembangkit listrik tenaga batu bara dan pembangunan jaringan listrik pintar (smart grid)," katanya.
Indonesia, lanjut Seto, masih dalam diskusi untuk mencari pembiayaan bagi jaringan listrik pintar di bawah JETP.
Jika merujuk pada JETP, Indonesia telah sepakat untuk membatasi dan mencapai puncak emisi karbon sektor ketenagalistrikan sebesar 290 juta metrik ton pada 2030, menyusul komitmen negara-negara barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Jepang untuk memberikan dukungan keuangan melalui perpaduan investasi ekuitas, hibah, dan pinjaman lunak.
[Redaktur: Mega Puspita]