Hal ini mungkin karena beberapa keterbatasan, seperti personil, luas wilayah, waktu kejadian, sampai keterlibatan oknum aparat. Keterbatasan ini juga menyebabkan perburuan dan penyelundupan satwa liar marak terjadi di Malut. Kondisi tambah menyedihkan kala dalam transportasi atau penyelundupan satwa atau burung dimasukkan dalam tempat tak layak.
"Burung yang ditangkap dan diselundupkan ke luar daerah, lebih 50 persen mati di jalan karena cara pengangkutan sangat menyiksa," ungkap Benny.
Baca Juga:
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bersama Universitas Satya Negara Indonesia Gelar Uji Emisi dan Seminar Edukatif
Benny mengatakan, jika burung sakit tetapi masih ada sifat liar, maka masih bisa masuk rehabilitasi dan kembali liar. Jika burung cacat, misalnya sayap patah, kaki putus, bulu rontok semua dan terlalu jinak seperti bisa bicara, kemungkinan besar tak lepas liar.
"Ini jadi beban negara karena perlu memelihara mereka seumur hidup di fasilitas rehabilitasi satwa," ungkapnya.
Dia menjelaskan, burung cacat, jinak, atau sakit (kronis), kemungkinan besar langsung mati kalau dipaksa lepas liar. Mereka tak bisa menghindari predator, tak mampu berlindung dari cuaca ekstrem, bahkan mungkin tak bisa mencari makan, karena tak terbiasa dengan makanan buah-buah atau biji di hutan. Dari beberapa kajian, perdagangan ilegal paruh bengkok di Maluku Utara cukup tinggi.[gab]