Malut.WahanaNews.co | Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (BTNAL) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melepas liar burung rehabilitasi dari Suaka Paruh Bengkok Balai Aketajawe Lolobata ke hutan di Desa Koli, Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Lepas liar paruh bengkok ini dalam rangkaian memeringati Hari Bumi 22 April nanti.
Burung-burung yang dilepas liar itu terdiri dari tiga Nuri Bayan (Eclectus roratus), Kasturi Ternate (Lorius garrulus) satu dan satu Kakatua Putih (Cacatua alba).
Baca Juga:
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bersama Universitas Satya Negara Indonesia Gelar Uji Emisi dan Seminar Edukatif
Kepala Balai TN Aketajawe Lolobata, Heri Wibowo, mengatakan, delapan burung ini mempunyai asal usul dan lama rehabilitasi berbeda. Dua Nuri Bayan dan satu Kasturi Ternate hasil sitaan SPTN I Weda, Halmahera Tengah dan masuk rehabilitasi sejak 2021.
Ada burung dari operasi pengamanan SPTN II Maba, Halmahera Timur dan rehabilitasi sejak 2019. Kakatua putih hasil translokasi satwa BKSDA Jakarta dan baru masuk rehabilitasi 24 Maret lalu.
Menurut Heri, perjuangan mengembalikan Kakatua Putih ke habitat cukup berat. Ketika diselundupkan dari Maluku Utara ke Jakarta, burung harus berkompetisi untuk bertahan hidup di tengah lautan. Ketika sampai di tujuan, burung itu harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang berbeda dengan habitat aslinya.
Baca Juga:
Ketua Umum YIARI Ditunjuk sebagai Penasihat Utama Menteri Kehutanan
"Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya 2022, berhasil translokasi kembali ke Maluku Utara dan dilepasliarkan ke habitat aslinya," katanya dikutip dari rilis yang diterima, Selasa (19/4/22).
Untuk memantau gerak satwa-satwa ini, kata Heri, mereka memasang microchip permanen hingga keberadaan burung bisa terdeteksi.
Monitoring pasca pelepasliaran akan terus dilakukan petugas Resort Tayawi dan Pengendali Ekosistem Hutan TN Aketajawe Lolobata.
Heri menjelaskan, perdagangan paruh bengkok ilegal masih cukup tinggi. Pekerjaan pejuang konservasi di Halmahera cukup berat, terutama menyadarkan masyarakat agar tak menangkap ataupun memelihara burung dilindungi ini. Keberadaan paruh bengkok di alam pun terus menyusut.
"Tanggung jawab bersama melestarikan satwa-satwa endemik maupun khas Maluku Utara. Semua satwa liar lebih indah di alam bebas," ujarnya.
Menurutnya, perburuan dan perdagangan paruh bengkok di Malut dan Maluku cukup marak karena pintu keluar cukup banyak. Sebagai daerah kepulauan, Maluku punya 15 bandara dan 21 pelabuhan laut.
Di Malut, ada sembilan bandara dan 24 pelabuhan laut. Daerah ini juga berbatasan dengan tiga negara secara langsung, yakni Filipina, Australia dan Timor Leste.
Di Maluku Utara, perburuan paruh bengkok terjadi di berbagai pulau mulai Morotai, Halmahera, Tidore, Bacan, Kasiruta, Obi, dan pulau-pulau kecil lain.
Data Burung Indonesia menyebutkan, sesuai penelitian di Pulau Obi pada 2014, sekitar 7.878 paruh bengkok ditangkap dari alam setiap tahun. Penelitian 2018, di Morotai dan Halmahera, rata-rata 7.012 paruh bengkok ditangkap per tahun.
Menurut data BKSDA Maluku-Malut, penangkapan burung dan satwa lain yang berhasil digagalkan aparat, baik polisi maupun petugas BKSDA sejak Januari 2018-September 202 ada 113 kasus dengan 3.217 satwa, di mana 2.492 adalah burung.
Biodiversity Conservation Officer di Burung Indonesia wilayah Maluku Utara, Benny Aladin, mengatakan, pemerintah telah membuat berbagai aturan guna menekan laju perdagangan satwa, tetapi masih ada yang kurang, yakni penindakan atau penegakan hukum.
Hal ini mungkin karena beberapa keterbatasan, seperti personil, luas wilayah, waktu kejadian, sampai keterlibatan oknum aparat. Keterbatasan ini juga menyebabkan perburuan dan penyelundupan satwa liar marak terjadi di Malut. Kondisi tambah menyedihkan kala dalam transportasi atau penyelundupan satwa atau burung dimasukkan dalam tempat tak layak.
"Burung yang ditangkap dan diselundupkan ke luar daerah, lebih 50 persen mati di jalan karena cara pengangkutan sangat menyiksa," ungkap Benny.
Benny mengatakan, jika burung sakit tetapi masih ada sifat liar, maka masih bisa masuk rehabilitasi dan kembali liar. Jika burung cacat, misalnya sayap patah, kaki putus, bulu rontok semua dan terlalu jinak seperti bisa bicara, kemungkinan besar tak lepas liar.
"Ini jadi beban negara karena perlu memelihara mereka seumur hidup di fasilitas rehabilitasi satwa," ungkapnya.
Dia menjelaskan, burung cacat, jinak, atau sakit (kronis), kemungkinan besar langsung mati kalau dipaksa lepas liar. Mereka tak bisa menghindari predator, tak mampu berlindung dari cuaca ekstrem, bahkan mungkin tak bisa mencari makan, karena tak terbiasa dengan makanan buah-buah atau biji di hutan. Dari beberapa kajian, perdagangan ilegal paruh bengkok di Maluku Utara cukup tinggi.[gab]