Heri menjelaskan, perdagangan paruh bengkok ilegal masih cukup tinggi. Pekerjaan pejuang konservasi di Halmahera cukup berat, terutama menyadarkan masyarakat agar tak menangkap ataupun memelihara burung dilindungi ini. Keberadaan paruh bengkok di alam pun terus menyusut.
"Tanggung jawab bersama melestarikan satwa-satwa endemik maupun khas Maluku Utara. Semua satwa liar lebih indah di alam bebas," ujarnya.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi, Kejagung Benarkan Geledah KLHK
Menurutnya, perburuan dan perdagangan paruh bengkok di Malut dan Maluku cukup marak karena pintu keluar cukup banyak. Sebagai daerah kepulauan, Maluku punya 15 bandara dan 21 pelabuhan laut.
Di Malut, ada sembilan bandara dan 24 pelabuhan laut. Daerah ini juga berbatasan dengan tiga negara secara langsung, yakni Filipina, Australia dan Timor Leste.
Di Maluku Utara, perburuan paruh bengkok terjadi di berbagai pulau mulai Morotai, Halmahera, Tidore, Bacan, Kasiruta, Obi, dan pulau-pulau kecil lain.
Baca Juga:
34 Sekolah Binaan DLH Kota Tangerang Raih Penghargaan Adiwiyata Nasional dan Mandiri
Data Burung Indonesia menyebutkan, sesuai penelitian di Pulau Obi pada 2014, sekitar 7.878 paruh bengkok ditangkap dari alam setiap tahun. Penelitian 2018, di Morotai dan Halmahera, rata-rata 7.012 paruh bengkok ditangkap per tahun.
Menurut data BKSDA Maluku-Malut, penangkapan burung dan satwa lain yang berhasil digagalkan aparat, baik polisi maupun petugas BKSDA sejak Januari 2018-September 202 ada 113 kasus dengan 3.217 satwa, di mana 2.492 adalah burung.
Biodiversity Conservation Officer di Burung Indonesia wilayah Maluku Utara, Benny Aladin, mengatakan, pemerintah telah membuat berbagai aturan guna menekan laju perdagangan satwa, tetapi masih ada yang kurang, yakni penindakan atau penegakan hukum.